Pages

Jumat, 14 November 2014

SYI'AH DI MATA KITA, SYI'AH DI HATI MEREKA

Pagi ini, kami kedatangan tamu. Salah seorang murid silat suami, seorang mahasiswa semester 5 Fakultas Teknik PTN favorit di Solo.
Saya bingung hendak memulai darimana, hati saya telanjur berkabut dan mendung...
Ia adalah seorang remaja masjid aktif di kampungnya. Di perguruan silat pun ia adalah sosok yang loyal dan royal, mau diajak bekerja keras bahkan berkorban. Keluarganya adalah keluarga yang ditokohkan di kampung. Karena itu, keluarganya pun dekat atau mungkin didekati oleh tokoh-tokoh lain, termasuk pemuka agama. Tak ketinggalan, tokoh agama Syi'ah pun memanfaatkan peluang.
Salah seorang tokoh Syi'ah di kampung tersebut adalah seorang ustadz yang rutin mengisi kajian kitab Sabtu sore di masjid setempat. Kitab yang dibahas adalah Bulughul Maram dan Riyadhus Shalihin.
Sebagai keluarga yang ditokohkan, tentu keluarga ikhwan yang saya maksud tadi pun turut dalam kajian bahkan menjadi penggerak agar kajian semarak.
Awalnya, kami hanya membiarkan semuanya mengalir. Tak ada praduga diajukan, tak ada prasangka yang diutarakan.
Namun, 'hari itu' akhirnya datang. Pagi ini. Obrolan ringan kami akhirnya mengerucut pada aktifitas kajian yang ia ikuti.

"Saya bukan orang Gumuk, Mas. Walaupun saya mengikuti kajian yang diampu ustadz dari sana," tegasnya.
"Saya tahu bagaimana aqidah Syi'ah, dan insyaaAllah selama kajian tidak ada hal-hal yang 'seperti itu'."

"Yang namanya kajian itu punya tingkatan Mas," tutur kami, "semuanya disesuaikan kebutuhan penuntut ilmu. Di manapun tempatnya pasti seperti itu. Tapi suatu saat, akan ada proses penyaringan. Orang yang terlihat loyal akan dinaikkan 'tingkat'nya, akan disampaikan materi-materi yang lebih khusus. Jika Antum sudah terbiasa dengan ritme mereka sejak awal, bukan tidak mungkin jika suatu saat Antum akan mengikuti jejak mereka tanpa sadar..."
"Saya hanya ingin ber-husnudhan. Ustadz-ustadz mereka, yang saya kenal, tidak pernah mengajarkan hal yang menyimpang. Mereka memang mengajak saya mengikuti kajian, tapi sifatnya longgar. Saya juga tidak dilarang mengikuti kajian di tempat lain, bersama ustadz lain..." tandas si ikhwan, yang membuat saya istighfar berulang-ulang.
'Bagaimana kita bisa menjaga husnudzan, jika ustadz kabiir saja ber-'su'udhan' pada mereka? Memangnya siapalah kita ini??'

Saya hanya merasa bahwa orang-orang Syi'ah berada selangkah di depan. Bagaimana mereka berhasil mengikat hati para pemuda yang mengikuti kajian mereka, hingga para pemuda tadi merasa enggan meninggalkan majelis bersama mereka??

0 sapa hangat:

Posting Komentar

 
Design Downloaded From Free Wordpress Themes | Free Website Templates | News and Observers