Pages

Sabtu, 27 Agustus 2016

Putraku, Calon Negarawan Muslim

Di antara situasi berikut, mana yang paling sering kita alami?

1. Saat anak selesai bermain dan kita memintanya membereskan mainan, ia berkata "Aku masih mau main ini, kok."
2. Saat tiba waktunya mandi, anak justru mengambil piring dan minta makan
3. Saat tiba waktunya makan, anak justru merengek minta camilan
4. Saat ke toko untuk membeli sepatu, anak menenteng mainan dan tidak ingin melepaskannya kecuali kita mau membelikannya
5. Saat kita sedang berada pada suatu acara, anak kita menangis keras mengajak pulang tanpa bisa ditawar

Jika kita pernah mengalami semuanya dengan frekuensi setara, mari bersyukur dan ucapkan pada diri sendiri, "Selamat! Kelak anakmu akan  menjadi negarawan tangguh!"

Betapa tidak? Poin-poin di atas menunjukkan bahwa anak kita adalah negosiator handal. Teguh memegang keinginan, dan pantang menyerah. Konsisten dengan prinsip dan selalu mencari cara agar 'menang'. Bahkan beberapa kali bisa bersikap manipulatif dan memegang kendali.

Alhamdulillaah 'alaa kulli haal.
Semua perilaku tadi akan menghasilkan pribadi yang arogan jika kita sebagai orang tua tidak mengarahkannya kepada perilaku yang beradab. Sebaliknya, jika kita membersamai anak-anak dan mengarahkan perilaku gigihnya secara positif sesuai adab dan akhlaq yang baik, insyaaAllah kelak mereka akan menjadi negarawan muslim yang berguna bagi agamanya. Aamiin.
Jadi, apa saja yang perlu kita lakukan untuk mengarahkan anak yang jago negosiasi menjadi anak berakhlaq baik?

1. Niatkan ikhlas
Anak adalah amanah dari Allah. Maka sudah sepantasnya jika kita meminta petunjukNya dalam mendidik anak-anak. Dan memohon pertolongan padaNya untuk setiap kesulitan yang kita temui

2. Bicarakan dengan Anak
Meski balita belum memiliki nalar yang sempurna, yakinlah bahwa ia sangat cerdas untuk bisa memahami harapan kita. Biasakanlah menyampaikan maksud tujuan kita ketika meminta anak melakukan sesuatu. Hal ini akan mendorong anak untuk berpikir dan memutuskan.

3. Beri Waktu untuk Berpindah (Transisi)
Balita memiliki rentang fokus yang singkat. Namun, ketika ia sedang fokus pada hal yang dikerjakannya, ia akan menutup diri dari dunia di luar dirinya. Memberitahukannya batasan waktu, akan membuatnya menentukan kapan ia akan berpindah dari aktivitas satu ke aktivitas lain. Hal ini akan membuatnya beralih kegiatan secara natural tanpa merasa dipaksa dan diburu-buru.

Misalnya, "Kakak, Umi hitung sampai 5 Kakak sudah ke kamar mandi ya..!"
akan lebih berfungsi daripada mengatakan, "Kakak, ayo mandi sekarang. Sudah sore."

"Sekarang jam setengah enam. Kakak boleh bermain sepuluh menit lagi, dan pulang sebelum adzan maghrib." akan membuatnya lebih mudah diajak pulang daripada berkata, "Kakak... ayo pulang, sebentar lagi Maghrib."

4. Konsisten
Jika kita sudah mengatakan "Kakak boleh makan camilan setelah makan nasi." maka kita harus memegang teguh dan melaksanakan apa yang kita katakan. Kuatkan hati, jangan goyah ketika anak mulai merengek, menangis, atau bahkan tantrum. Konsisten terasa sulit dikerjakan saat ini, namun yakinlah bahwa manfaatnya di masa mendatang sangat berguna, baik bagi anak ataupun bagi kita orangtuanya.

5. Apresiasi setiap Perbuatan Positif
"Alhamdulillaah, Kakak bisa bekerja sama. Terima kasih ya Kak, sudah pulang tepat waktu. Kakak jadi bisa persiapan shalat Maghrib bersama abi."
Perlu dicatat, untuk mengapresiasi perbuatannya secara spesifik, bukan sekedar mengatakan "Kamu hebat!" Atau "Kamu pintar!"

6. Rayakan bersama
Ketika anak mau bersabar untuk tidak merengek selama kita mengikuti suatu acara, dan kita bisa melalui masa menegangkan selama negosiasi dengan anak, belilah es krim dalam perjalanan pulang. Dan katakan pada anak, "Jazaakumullah khairan ya Kak, sudah bersikap sopan. Semoga selanjutnya Kakak bisa selalu bersikap sopan. Ini hadiah untuk kakak."

Kamis, 25 Agustus 2016

Putraku, Calon Negarawan

Di antara situasi berikut, mana yang paling sering kita alami?

1. Saat anak selesai bermain dan kita memintanya membereskan mainan, ia berkata "Aku masih mau main ini, kok."
2. Saat tiba waktunya mandi, anak justru mengambil piring dan minta makan
3. Saat tiba waktunya makan, anak justru merengek minta camilan
4. Saat ke toko untuk membeli sepatu, anak menenteng mainan dan tidak ingin melepaskannya kecuali kita mau membelikannya
5. Saat kita sedang berada pada suatu acara, anak kita menangis keras mengajak pulang tanpa bisa ditawar

Jika kita pernah mengalami semuanya dengan frekuensi setara, mari bersyukur dan ucapkan pada diri sendiri, "Selamat! Kelak anakmu akan  menjadi negarawan tangguh!"

Betapa tidak? Poin-poin di atas menunjukkan bahwa anak kita adalah negosiator handal. Teguh memegang keinginan, dan pantang menyerah. Konsisten dengan prinsip dan selalu mencari cara agar 'menang'. Bahkan beberapa kali bisa bersikap manipulatif dan memegang kendali.

Alhamdulillaah 'alaa kulli haal.
Semua perilaku tadi akan menghasilkan pribadi yang arogan jika kita sebagai orang tua tidak mengarahkannya kepada perilaku yang beradab. Sebaliknya, jika kita membersamai anak-anak dan mengarahkan perilaku gigihnya secara positif sesuai adab dan akhlaq yang baik, insyaaAllah kelak mereka akan menjadi negarawan muslim yang berguna bagi agamanya. Aamiin.
Jadi, apa saja yang perlu kita lakukan untuk mengarahkan anak yang jago negosiasi menjadi anak berakhlaq baik?

1. Niatkan ikhlas
Anak adalah amanah dari Allah. Maka sudah sepantasnya jika kita meminta petunjukNya dalam mendidik anak-anak. Dan memohon pertolongan padaNya untuk setiap kesulitan yang kita temui

2. Bicarakan dengan Anak
Meski balita belum memiliki nalar yang sempurna, yakinlah bahwa ia sangat cerdas untuk bisa memahami harapan kita. Biasakanlah menyampaikan maksud tujuan kita ketika meminta anak melakukan sesuatu. Hal ini akan mendorong anak untuk berpikir dan memutuskan.

3. Beri Waktu untuk Berpindah (Transisi)
Balita memiliki rentang fokus yang singkat. Namun, ketika ia sedang fokus pada hal yang dikerjakannya, ia akan menutup diri dari dunia di luar dirinya. Memberitahukannya batasan waktu, akan membuatnya menentukan kapan ia akan berpindah dari aktivitas satu ke aktivitas lain. Hal ini akan membuatnya beralih kegiatan secara natural tanpa merasa dipaksa dan diburu-buru.

Misalnya, "Kakak, Umi hitung sampai 5 Kakak sudah ke kamar mandi ya..!"
akan lebih berfungsi daripada mengatakan, "Kakak, ayo mandi sekarang. Sudah sore."

"Sekarang jam setengah enam. Kakak boleh bermain sepuluh menit lagi, dan pulang sebelum adzan maghrib." akan membuatnya lebih mudah diajak pulang daripada berkata, "Kakak... ayo pulang, sebentar lagi Maghrib."

4. Konsisten
Jika kita sudah mengatakan "Kakak boleh makan camilan setelah makan nasi." maka kita harus memegang teguh dan melaksanakan apa yang kita katakan. Kuatkan hati, jangan goyah ketika anak mulai merengek, menangis, atau bahkan tantrum. Konsisten terasa sulit dikerjakan saat ini, namun yakinlah bahwa manfaatnya di masa mendatang sangat berguna, baik bagi anak ataupun bagi kita orangtuanya.

5. Apresiasi setiap Perbuatan Positif
"Alhamdulillaah, Kakak bisa bekerja sama. Terima kasih ya Kak, sudah pulang tepat waktu. Kakak jadi bisa persiapan shalat Maghrib bersama abi."
Perlu dicatat, untuk mengapresiasi perbuatannya secara spesifik, bukan sekedar mengatakan "Kamu hebat!" Atau "Kamu pintar!"

6. Rayakan bersama
Ketika anak mau bersabar untuk tidak merengek selama kita mengikuti suatu acara, dan kita bisa melalui masa menegangkan selama negosiasi dengan anak, belilah es krim dalam perjalanan pulang. Dan katakan pada anak, "Jazaakumullah khairan ya Kak, sudah bersikap sopan. Semoga selanjutnya Kakak bisa selalu bersikap sopan. Ini hadiah untuk kakak."

Rabu, 24 Agustus 2016

Jeruk Makan Jeruk

Putra sulung saya memiliki suara nyaring. Jika sedang bermain dengan teman sebayanya, suara tawanya  terdengar paling keras. Begitu pula ketika asik bermain sendiri,  berimajinasi tentang mobil, dengan suara nyaringnya yang cemruwet ia akan menirukan suara-suara mobil berjalan atau mobil mengerem. Riuh rendah, sesekali ditingkahi suara ocehan dan tawa adiknya. Sungguh suasana riang yang senantiasa membuat betah tinggal di rumah.


Namun terkadang, suara nyaringnya menjelma menjadi teriakan tak bermakna, atau teriakan marah minta perhatian. Jika kondisi saya sedang fit, saya bisa menanggapinya dengan kalem. Namun, satu dua kali kondisi emosi saya juga kurang baik. Atau saya sedang melayani adiknya menyusu yang tak bisa ditawar nanti-nanti. Di saat seperti itu saya akui saya bertingkah sama konyolnya dengan kakak.


"Kakak! Ndak usah teriak!! Umi sudah dengar!!! Umi hanya minta Kakak menunggu, nanti Umi datang!!!!"


Nah, lucu kan?! Saya berteriak meminta balita saya berhenti berteriak. Tentunya balitadengan logikanya yang belum matangmenangkap bahwa saya memberinya contoh untuk berteriak saat menginginkan sesuatu, alih-alih mendekat dan menyampaikan maksudnya secara sopan.
Di sinilah pentingnya introspeksi sebagai orang tua.

Jumat, 05 Agustus 2016




Mudik selalu menjadi momen yang saya nanti setiap tahun. Karena hanya di momen itulah saya bisa bertemu Bapak dan Emak dalam waktu lama.

Di sisi lain, mudik adalah saat untuk rekreasi di pantai. Pantai di kampung saya cukup banyak. Masih alami, dan belum terjamah khalayak umum. Jarak tempuhnya juga dekat, dua puluh menit jalan kaki. Medan yang dilalui masih alami. Jalan setapak berupa batuan gunung, dikelilingi ladang dan tanaman liar. Benar-benar membuai mata dan hati. Hmm... so lovely.

Sayangnya, mudik kali ini pantai surut di waktu petang. Tentu saja tidak nyaman berjalan kaki di medan terjal, dengan mengajak dua balita. Dan tentu saja objek pemandangan sangat minim. Karena itulah, kami memilih mengunjungi pantai Sadeng. Pantai yang difungsikan sebagai pelabuhan di kampung saya. Meski keindahannya jauh berkurang dibanding dulu ketika masih alami, Pantai Sadeng tetap menarik pengunjung dari berbagai daerah. Terutama bagi penggemar seafood, aneka binatang laut tersedia di TPI (Tempat Pelelangan Ikan), dan tentunya masih segar karena baru diangkat dari laut oleh nelayan setempat.





Dan ternyata, abi memiliki kenangan di pantai ini. Usut punya usut, semasa bujang dulu abi pernah berkunjung ke pantai ini. Duduk di ujung dermaga sambil merenung dan memanjatkan doa, 'Ya Alláh, pilihkanlah jodohku wanita shalihah dari kampung dimana panrai ini berada.'

Dan MaasyaaAllah... doa pemuda galau sepertinya makbul, hehe. Meski saya tak pernah bertemu abi sekalipun, ternyata Allah Memilihkan beliau menjadi pendamping hidup beliau saat ini. Alhamdulilláh...

Dan bagi putra kami, tempat ini tentunya menyediakan wahana belajar baru: laut, pasir putih, ombak, dan perahu tentunya. Semoga kami seluruh pengunjung mampu menjaga kebaikan dan kearifan di tempat ini. Sehingga terjaga keindahannya dan orang lainpun bisa turut merasakan kenyamanan sebagaimana yang kami rasakan. Aamiin

Kamis, 16 April 2015

Ayah, Ibu dan Anak-anak

Keluarga. Seringkali disebut sebagai miniatur masyarakat-lingkungan sosial- di mana keluarga itu berada. Ia memiliki anggota, dan aturan-aturan yang dikenakan pada anggotanya. Aturan yang ada bisa jadi merupakan sebuah norma yang umum dilazimi masyarakat. Bisa pula berupa aturan yang ditetapkan kepala keluarga. Atau sebentuk kesepakatan yang dibuat dan diamini seluruh anggota keluarga.
Apalagi bagi keluarga muslim, tentunya ada nilai-nilai ideologis yang dijabarkan dalam tujuan, visi dan misi keluarga. Agar keluarga yang dicinta tak hanya bersua sementara di dunia, namun berlanjut hingga menjadi keluarga yang utuh di jannah-Nya.

Teringat satu pernyataan pada seminar parenting "Pendidikan Seks untuk Anak", 29 Maret lalu. Ibu Farida Nuraini selaku narasumber menuturkan kurang lebih begini "Suami Anda sekarang, adalah bentuk didikan orangtuanya dan pengaruh lingkungannya. Karena itu jangan semata mempermasalahkan kekurangan-kekurangannya... Ibu yang tidak tahu cara menjaga bicaranya, dan Ayah yang tidak tahu cara menjadi pemimpin keluarga..."

Saya hanya mampu mengingat potongan-potongan karena benak saya seketika melayang pada figur sebuah keluarga yang entah bagaimana cocok dengan apa yang disebutkan Bu Ida. Perihal yang saya kenang tentang keluarga itu adalah tentang anak-anaknya.

Secara lahir, dalam lingkup sosial, keluarga tersebut adalah keluarga yang banyak jasanya bagi sekitar.
Namun terasa sekali bedanya, jika yang dibicarakan adalah masalah akhlaq dan adab. Anak pertama dan kedua yang sudah berkeluarga, memang lebih 'mapan'. Lebih tahu batasan bagaimana bersikap& menjaga adab. Meski ketika di rumah, atribut adab itu bisa seketika lepas, terutama tampak pada bagaimana mereka berkata-kata sesama saudara, atau bahkan pada orangtua. Namun putra bungsu yang masih 'tercelup' aroma pergaulan masa kini, sungguh kurang sekali adabnya, di dalam maupun luar rumah.
Sangat disayangkan, mengingat semua itu secara sadar atau tidak terjadi akibat kurang bisanya orangtua berperan sebagai orangtua yang Islami.

Ya, orangtua Islami. Dalam Islam, bagaimana orangtua berkata-kata diatur dalam surah An-Nisa ayat 9 (silakan dibuka sendiri nggih, hehe).
Bayangkan jika orangtua, terutama Ibu sering berbicara buruk tentang anaknya. Sedangkan perkataan Ibu seringkali menjadi do'a yang munglin diaminkan malaikat. Miris bukan, jika bagaimana akhlaq anak kita sekarang adalah akibat perkataan kita yang kurang pas dalam mensifati anak-anak kita. "Kamu itu anak bodoh... kamu itu pemalas... kamu tidak punya sopan santun layaknya gelandangan...". Na'udzubillaahi min dzaalik. Wahai ibu, mari membenahi kembali aktivitas lisan kita...
Lalu peran ayah, yang secara khusus dituntut untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Dengan apakah keluarga dijaga dari neraka jika bukan dengan dienul haq? Lalu bagaimana jika seorang ayah abai akan syariat, dan lepas tangan dari pendidikan anak-anaknya? Sungguh, jika Alláh tidak menolong keluarga itu tentulah mereka menjadi keluarga yang hina dunia akhirat. Alláhummaghfirlanaa...

Masih ada waktu, untuk berbenah menjadi orangtua yang Islami dalam membangun keluarga dunia menuju surga. Aamiin


 
Design Downloaded From Free Wordpress Themes | Free Website Templates | News and Observers